A
Pengertian
dan Syarat-syarat Profesi
Menurut Ornstein dan Levine (1984)
menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian
profesi di bawah ini :
1.
Pengertian
profesi
a) Memerlukan
pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
b) Mempunyai
organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
c) Mempunyai
komitmen terhadap jabatan & klien dengan penekanan terhadap layanan yang
akan diberikan.
d) Memerlukan
bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai (tidak
setiap orang dapat melakukannya.
e) Memerlukan
pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
Tidak
jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al. (1991), mengutarakan
cirri-ciri utama suatu profesi itu sebagai berikut:
a) Jabatan
yang menuntut keterampilan / keahlian tertentu.
b) Jabatan
itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup
lama.
c) Jabatan
ini mempunyai presentase yang tinggi dalam masyarakat dan oleh karenanya
memperoleh imbalan yang tinggi pula.
d) Proses
pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi
nilai-nilai professional itu sendiri.
Bila
kita bandingkan kriteria yang dipakai Sanusi et al. Ini dengan criteria
Ornstein dan Levine yang dibicarakan lebih dahulu, dapat disimpulkan bahwa
keduanya hamper mirip, dan saling melengkapi, dan oleh karenanya dapat kita
pakai sebagai pedoman dalam pembicaraan selanjutnya.
2.
Pengertian
dan Syarat-syarat Profesi Keguruan
Khususnya untuk jabatan guru, sebenarnya juga sudah
ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya National Education Association (NEA) (1948)
menyarankan kriteria berikut :
a) Jabatan
yang melibatkan kegiatan intelektual.
b) Jabatan
yang memerlukan persiapan latihan yang lama.
c) Jabatan
yang menentukan bakunya sendiri.
d) Jabatan
yang memerlukan latihan dalam jabatan yang sinambung..
a)
Jabatan
yang melibatkan kegiatan Intelektual.
Jelas sekali bahwa jabatan guru memenuhi criteria
ini, karena mengajar melibatkan upaya-upaya yang sifatnya sangat didominasi
kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati, bahwa kegiatan-kegiatan yang
dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi persiapan dari semua kegiatan
professional lainnya. Oleh sebab itu, mengajar seringkali disebut sebagai Ibu
dari segala profesi (Stinnett dan Huggett, 1963).
b)
Jabatan
yang memerlukan persiapan latihan yang lama.
Yang membedakan jabatan professional dengan
non-profesional antara lain adalah dalam penyelesaian pendidikan melalui
kurikulum, yaitu ada yang diatur universitas/institut atau menilai pengalaman
praktek dan pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah. Yang pertama, yakni
pendidikan melalui perguruan tinggi disediakan untuk jabatan professional,
sedangkan yang kedua yakni pendidikan
melalui pengalaman praktek dan pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah
diperuntukkan bagi jabatan yang non-profesional (Ornstein dan Levine,1984).
Konsep ini menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum
perguruan tinggi, yang terdiri dari pendidikan umum, professional, dan khusus,
sekurang-kurangnya empat tahun bagi guru pemula (S1 di LPTK), atau pendidikan
persiapan professional di LPTK paling kurang selama setahun setelah mendapat
gelar akademik S1 di perguruan tinggi non LPTK. Namun sampai sekarang di
Indonesia, ternyata masih banyak guru yang lama pendidikan mereka sangat
singkat, malahan masih ada yang hanya seminggu, sehingga tentu saja kualitasnya
masih sangat jauh untuk dapat memenuhi persyaratan yang kita harapkan.
c)
Jabatan
yang menentukan bakunya sendiri
Karena jabatan guru menyangkut hajat orang banyak,
maka baku untuk jabatan guru ini sering tidak diciptakan oleh anggota profesi
sendiri, terutama di negara kita. Baku jabatan guru masih sangat banyak diatur
oleh pemerintah, atau pihak lain yang menggunakan tenaga guru tersebut seperti
yayasan pendidikan swasta.
Dalam setiap jabatan profesi setiap anggota kelompok
dianggap sanggup untuk membuat keputusan professional berhubungan dengan iklim
kerjanya. Para profesioanal biasanya membuat peraturan sendiri dalam daerah
kompetensinya, kebiasaan dan tradisi yang berhubungan dengan pengawasan yang
efektif tentang hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan hal-hal yang
berhubungan dengan langganan kliennya. Sebetulnya pengawasan luar adalah musuh
alam dari profesi, karena membatasi kekuasaan profesi dan membuka pintu
terhadap pengaruh luar (Ornstein dan Levine, 1984)
Otoni profesional tidak berarti bahwa tidak ada sama
sekali control terhadap professional. Sebaliknya, ini berarti bahwa control
yang memerlukan kompetensi teknis hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kemampuan professional dalam hal ini.
Kelihatannya untuk masa sekarang sesuai dengan
kondisi yang ada di negara kita, kriteria ini belum dapat secara keseluruhan
dipenuhi oleh jabatan guru.
d)
Jabatan
yang memerlukan latihan dalam jabatan yang sinambung
Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat
sebagai jabatan professional, sebab hamper tiap tahun guru melakukan berbagai
kegiatan latihan professional, baik yang mendapatkan penghargaan kredit maupun
tanpa kredit. Malahan pada saat sekarang bermacam-macam pendidikan professional
tambahan diikuti guru-guru dalam menyetarakan dirinya dengan kualifikasi yang
telah ditetapkan.
3.
Tujuan
kode etik
Pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam
suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi
profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai
berikut (R Hermawan S,1979)
1)
Untuk
menjunjung tinggi martabat profesi
Dalam hal ini kode etik dapat menjaga
pandangan dan kesan dari pihak luar dan masyarakat, agar mereka jangan samapai
memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya,
setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau
kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap
dunia luar.
2)
Untuk
menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya.
Yang dimaksud kesejahteraan disini
meliputi baik kesejahteraan lahir maupun kesejahteraan batin. Dalam hal
kesejahteraan lahir para anggota profesi, kode etik umumnya memuat
larangan-larangan kepada para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang merugikan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan
tariff-tarif minimum bagi honorarium anggota profesi dalam melaksanakan
tugasnya, sehingga siapa-siapa yang mengadakan tarif di bawah minimum akan
dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi.
Kode etik sering mengandung
peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi tingkah laku yang tidak pantas
atau tidak jujur bagi para anggota profesi dalam berinteraksi dengan sesame
rekan anggota profesi.
3)
Untuk
meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Tujuan lain kode etik dapat juga
berkaitan dengan peningkatan pengabdian profesi, sehingga bagi para anggota
profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya
dalam melaksanakan tugasnya.
4)
Untuk
meningkatkan mutu profesi
Untuk meningkatkan mutu profesi kode
etik juga memuat norma-norma dan ajuran agar para anggota profesi selalu
berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.
5)
Untuk
meningkatkan mutu organisasi profesi
Untuk meningkatkan mutu profesi, maka
diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpatisipasi dalam membina
organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.
Dari uraian tersebut bahwa dapat diambil kesimpulan
tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat
profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, meningkatkan
pengabdian anggota profesi, dan meningkatakan mutu profesi dan mutu organisasi
profesi
B
Sikap
Profesional Keguruan
Pengertian
Guru sebagai pendidik professional
mempunyai citra yang baik di masyarakat
apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau
teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana
sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani
atau tidak.
Hal ini berhubungan dengan bagaimana
pola tingkah laku guru dalam memahami, menghayati, serta mengamalkan sikap
kemampuan dan sikap profesionalnya. Pola tingkah laku yang berhubungan dengan
itu akan dibicarakan sesuai dengan sasarannya, yakni sikap professional
keguruan terhadap : (1) Peraturan Perundang-undangan, (2) Organisasi Profesi,
(3) Teman sejawat, (4) Anak didik, (5) Tempat kerja, (6) Pemimpin, dan (7)
Pekerjaan.
I.
Sikap
Terhadap Peraturan Perundang-undangan
Kebijaksanaan pendidikan di negara kita dipegang
oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam
rangka pembangunan di bidang pendidikan di Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan mengerluarkan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang
merupakan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan oleh aparatnya, yang meliputi
antara lain : pembangunan gedung-gedung pendidikan, pemerataan kesempatan
belajar antara lain dengan melalui kewajiban belajar, peningkatan mutu
pendidikan, pembinaan generasi muda dengan menggiatkan karang taruan, dan
lain-lain.
Untuk menjaga agar guru Indonesia tetap melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan, Kode Etik Guru Indonesia mengatur hal tersebut, seperti yang tertentu
dalam dasar kesembilan dari kode etik guru. Dengan demikian, setiap guru
Indonesia wajib tunduk dan taat kepada segala ketentuan-ketentuan pemerintah.
Dalam bidang pendidikan ia harus taat kepada kebijaksanaan dan peraturan, baik
yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun departemen
lain yang berwenang mengatur pendidikan, di pusat dan didaerah dalam rangka
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan di Indonesia.
II.
Sikap
Terhadap Organisasi Profesi
Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan
mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
Dasar ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya
peranan organisasi profesi sebagai wadah dan sarana pengabdian. PGRI sebagai
organisasi profesi memerlukan pembinaan, agar lebih berdaya guna dan berhasil
guna sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru.
Keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung kepada kesadaran para aggotanya,
rasa tanggung jawab dan kewajiban para anggotanya.
Dalam dasar keenam dari kode etik ini dengan
gambling juga dituliskan, bahwa Guru secara pribadi dan bersama-sama
mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
Dasar ini sangat tegas mewajibkan kepada seluruh
anggota profesi guru untuk selalu meningkatkan mutu dan martabat profesi guru
itu sendiri.
III.
Sikap
Terhadap Teman Sejawat
Dalam ayat 7 Kode Etik Guru disebutkan bahwa “Guru
memlihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan
sosial.” Ini berarti bahwa : (1) Guru hendaknya menciptakan dan memelihara
hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya, dan (2) Guru hendaknya
menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan ketiakawanan sosial di
dalam dan di luar lingkungan kerjanya.
Dalam hal ini Kode Etik Guru Indonesia menunjukkan
kepada kita betapa pentingnya hubungan yang harmonis perlu diciptakan dengan
mewujudkan perasaan bersaudara yang mendalam antara sesama anggota profesi.
Hubungan formal ialah hubungan yang perlu dilakukan
dalam rangka melakukan tugas kedinasan. Sedangkan hubungan kekeluargaan ialah
hubungan persaudaraan yang perlu dilakukan, baik dalam lingkungan kerja maupun
dalam hubungan keseluruhan dalam rangka menjunjung tercapainya keberhasilan
anggota profesi dalam membawakan misalnya sebagai pendidik bangsa.
IV.
Sikap
Terhadap Anak Didik
Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas
dituliskan bahwa : Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Dasar ini mengandung
prinsip yang harus dipahami oleh seorang guru dalam menjalankan tugasnya
sehari-hari, yakni : tujuan pendidikan nasional, prinsip pembimbing, dan
prinsip pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
Tujuan pendidikan nasional dengan jelas dapat dibaca
dalam UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni membentuk manusia
Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Prinsip yang lain adalah membimbing
peserta didik, bukan mengajar, atau mendidik saja. Pengertian membimbing
seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya. Tiga
kalimat padat yang terkenal dari sistem itu adalah ing ngarso sung tulodo, ing
madya mangun karso, dan tut wuri handayani. Ketiga kalimat itu mempunyai arti
bahwa pendidikan harus dapat member contoh, harus dapat memberikan pengaruh,
dan harus dapat mengendalikan peserta didik. Dalam tut wuri terkandung maksud
membiarkan peserta didik menuruti bakat dan kodratnya sementara guru
memperhatikannya. Dalam handayani berarti guru mempengaruhi peserta didik,
dalam arti membimbing atau mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung
arti bersikap menentukan kearah pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila, dan bukanlah mendikte
peserta didik, apalagi memaksanya menurut kehendak sang pendidik. Motto tut
wuri handayani sekarang telah berubah diambil menjadi motto dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
V.
Sikap
Terhadap Teman Kerja
Terhadap guru sendiri dengan jelas juga dituliskan
dalam salah satu butir dari Kode Etik yang berbunyi : “ Guru menciptakan
suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar
mengajar.” Oleh sebab itu, guru harus aktif mengusahakan suasana yang baik itu
dengan berbagai cara, baik dengan penggunaan metode mengajar yang sesuai,
maupun dengan penyediaan alat belajar yang cukup, serta pengaturan organisasi
kelas yang mantap, ataupun pendekatan lainnya yang diperlukan.
Suasana yang harmonis di sekolah tidak akan terjadi
bila personil yang terlibat di dalamnya, yakni kepala sekolah, guru, staf
administrasi dan siswa, tidak menjalin hubungan yang baik di antara sesamanya.
Penciptaan suasana kerja menantang harus dilengkapi dengan terjalinnya hubungan
yang baik dengan orang tua dan masyarakat sekitarnya. Ini dimaksudkan untuk
membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. Hanya
sebagian kecil dari waktu, dimana peserta didik berada disekolah dan diawasi
oleh guru-guru. Sebagian besar waktu justru digunakan peserta didik diluar
sekolah, yakni dirumah dan di masyarakat sekitar.
Keharusan guru membina hubungan dengan orang tua dan
masyarakat sekitarnya ini merupakan isi dari butir ke lima Kode Etik Guru
Indonesia.
VI.
Sikap
Terhadap Pemimpin
Sebagai salah seorang anggota organisasi, baik
organisasi guru maupun organisasi yang lebih besar(Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan) guru akan selalu berada dalam bimbingan dengan pengawasan pihak
atasan. Dari organisasi guru, ada strata kepimpinan mulai dari pengurus cabang, daerah sampai ke
pusat.
Sudah jelas bahwa pemimpin suatu unit atau
organisasi akan mempunyai kebijaksanaan dan arahan dalam memimpin
organisasinya, dimana tiap anggota organisasi itu dituntut berusaha untuk
bekerja sama dalam melaksanakan tujuan organisasi tersebut.
VII.
Sikap
Terhadap Pekerjaan
Profesi guru berhubungan dengan anak didik, yang
secara alami mempunyai persamaan dan perbedaan. Tugas melayani orang yang
beragam sangat memerlukan kesabaran dan ketelatenan yang tinggi, terutama bila
berhubungan dengan peserta didik yang masih kecil. Barangkali tidak semua orang
dikarunia sifat seperti itu, namun bila seseorang telah memilih untuk memasuki
profesi guru, ia dituntut untuk belajar dan berlaku seperti itu.
Dalam butir keenam ini dituntut kepada guru, baik
secara pribadi maupun secara kelompok, untuk selalu meningkatkan mutu dan
martabat profesinya. Guru sebagaimana juga dengan profesi lainnya tidak mungkin
dapat meningkatkan atau menambah pengetahuan dan keterampilannya, karena ilmu
dan pengetahuan yang menunjang profesi itu selalu berkembang sesuai dengan
kemajuan zaman.
C
Pengembangan
Sikap Professional
Pengembangan
sikap professional ini dapat dilakukan baik selagi dalam pendidikan prajabatan
maupun setelah bertugas(dalam jabatan).
a.
Pengembangan
Sikap Selama Pendidikan Prajabatan
Dalam pendidikan prajabatan, calon guru di didik
dalam berbagai pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam
pekerjaannya nanti. Karena tugasnya yang bersifat unik, guru selalu menjadi
panutan bagi siswanya, dan bahkan bagi masyarakat sekelilingnya.
Pembentukan sikap yang baik tidak mungkin muncul
begitu saja, tetapi harus dibina sejak calon guru memulai pendidikannya di
lembaga pendidikan guru. Berbagai usaha dan latihan contoh-contoh dan aplikasi
penerapan ilmu, keterampilan dan bahkan sikap professional dirancang dan dilaksanakan
selama calon guru berada dalam pendidikan prajabatan. Sikap teliti dan
disiplin, misalnya dapat terbentuk sebagai hasil sampingan dari hasil belajar
fisika yang benar, karena belajar fisika
selalu menuntut ketelitian dan kedisplinan penggunaan aturan dan
prosedur yang telah ditentukan.
b.
Pengembangan
Sikap Selama dalam Jabatan
Pengembangan sikap professional tidak berhenti
apabila calon guru selesai mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang
dapat dilakukan dalam rangka peningkatan sikap professional keguruan dalam masa
pengabdiannya sebagi guru. Seperti telah disebutkan bahwa peningkatan ini dapat
dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya,
seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya., ataupun secara informal melalui media
massa televise, radio, Koran, dan majalah maupun publikasi lainnya.
D
Pengertian
Bimbingan dan Konseling
Pengertian Bimbingan
Bimbingan
merupakan :
a)
Suatu proses yang berkesinambungan.
b)
Suatu proses membantu individu.
c)
Bantuan yang diberikan itu dimaksudkan
agar individu yang bersangkutan dapat mengarahkan dan mengembangkan dirinya
secara optimal sesuai dengan kemampuan/potensinya, dan
d)
Kegiatan yang bertujuan untuk memberikan
bantuan agar individu dapat memahami keadaan dirinya dan mampu menyesuaikan
dengan lingkungannya.
Pengertian Konseling
Pengertian
konseling menurut Bimo Walgito (1982) :
’’ Konseling adalah bantuan yang diberikan
kepada individu dalam memecahkan masalah kehidupannya dengan wawancara, dengan
cara-cara yang sesuai dengan keadaan individu yang dihadapi untuk mencapai
kesejahteraan hidupnya. ’’
E
Tujuan
Bimbingan di Sekolah
Dalam
buku SMA tahun 1975 dinyatakan bahwa tujuan bimbingan di sekolah adalah
membantu siswa :
1. Mengatasi
kesulitan dalam belajarnya, sehingga memperoleh prestasi belajar yang tinggi.
2. Mengatasi
kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan kesehatan jasmani.
3. Mengatasi
kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan perencanaan dan pemilihan jenis
pekerjaan setelah mereka tamat.
Di
samping itu tujuan-tujuan tersebut, Downing (1968) juga mengemukakan bahwa
tujuan bimbingan di sekolah sebenarnya sama dengan pendidikan terhadap diri
sendiri, yaitu membantu siswa agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial
psikologis mereka, merealisasikan keinginannya, serta mengembangkan kemampuan
atau potensinya.
F
Peranan
Bimbingan dan Konseling dalam Pembelajaran Siswa
Sebagai pertanda bahwa siswa mengalami
kesulitan dalam belajar dapat diketahui dari berbagai jenis gejalanya seperti
dikemukakan Abu Ahmadi (1977) sebagai berikut :
1)
Menunjukkan tingkah laku yang berlainan
seperti suka membolos, suka mengganggu, dan sebagainya.
2)
Hasil belajarnya rendah, di bawah
rata-rata kelas.
3)
Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan
usaha yang dilakukannya.
4)
Menunjukkan sikap yang kurang ajar, suka
menentang, dusta dan tidak mau menyelesaikan tugas.
G
Asas-asas
Bimbingan dan Konseling
Asas adlah segala hal yang harus
dipenuhi dalam melaksanakan suatu kegiatan, agar kegiatan tersebut dapat
terlaksana dengan baik serta mendapatkan hasil yang memuaskan. Dalam
kegiatan/layanan bimbingan dan konseling menurut Prayitno (1982) ada beberapa
asas yang perlu diperhatikan yaitu :
i.
Asas Kerahasiaan
Asas ini mempunyai makan yang sangat penting
dalam layanan bimbingan dan konseling. Mungkin tidak terlalu berlebihan
bilamana asas ini disebut dengan asas kunci dalam pemberian layanan tersebut.
Sebagian keberhasilan layanan bimbingan banyak ditentukan oleh asas ini, sebab
klien akan mau membukakan keadaan dirinya sampai dengan masalah-masalah yang
sangat pribadi, apabila ia yakin bahwa konselor dapat menyimpan rahasianya.
Dengan adanya keterbukaan dari klien akan memberikan kemudahan-kemudahan bagi
konselor menemukan sumber penyebab timbulnya masala, yang selanjutnya dapat
mempermudah pula mencari atau mendapatkan jalan pemecahan masalah yang dihadapi
oleh klien tersebut.
ii.
Asas Keterbukaan
Konselor harus berusaha untuk
menciptakan suasana keterbukaan dalam membahas masalah yang dialami klien.
Klien terbuka menyampaikan perasaan, pikiran, dan keinginannya yang
diperkirakan sebagai sumber timbulnya permasalahan. Klien merasa bebas
mengutarakan permasalahannya, dan konselor pun dapat menerimanya dengan baik.
Konselor juga terbuka dalam memberikan tanggapan terhadap hal-hal yang
dikemukakan oleh klien. Namun demikian, suasana keterbukaan ini sulit terwujud
bilamana asas kerahasiaan tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
iii.
Asas Kesukarelaan
Konselor mempunyai peran utama dalam
mewujudkan asas kesukarelaan ini. Konselor harus mampu mencerminkan asas ini
dalam menerima kehadiran klien. Bilamana konselor tidak siap menerima kehadiran
klien karena satu hal dan hal lain, seperti tidak cukupnya waktu untuk
berkonsultasi yang disebabkan ada acara lain; badan atau perasaan tidak enak;
sedang punya masalah yang agak serius, dan sebagainya. Kondisi konselor yang
demikian dapat menyebabkan asas kesukarelaan ini tidak terwujud, kalau mereka
paksakan untuk melakukan konsultasi. Sebaliknya bila kien tidak mau sukarela
mengemukakan permasalahannya, maka konsultasi itu tidak mungkin berlangsung
secara efektif.
iv.
Asas Kekinian
Pemecahan masalah dalam kegiatan
konseling seharusnya berfokus pada masalah-masalah yang dialami oleh klien pada
saat ini. Apa yang dirasakan dan dipikirkan pada saat konsultasi, itulah yang
menjadi pusat perhatian dalam mencarikan pemecahannya. Konselor jangan
terperangkap dalam pembicaraan tentang masalah-masalah yang btidak lagi menjdai
persoalan bagi klien. Misalnya klien mengeluh bahwa prestasi belajarnya rendah.
v.
Asas Kegiatan
Usaha layanan bimbingan dan konseling
akan dapat berlangsung baik, bilamana klien mau melaksanakan sendiri kegiatan
yang telah dibahas dalam layanan itu. Oleh karena itu, konselor hendaknya mampu
memotivasi klien untuk melaksanakan semua saran yang telah disampaikannya.
vi.
Asas Kedinamisan
Arah layanan bimbingan dan konseling
yaitu terwujudnya perubahan dalam diri klien, yaitu perubahan tingkah laku
kearah yang lebih baik. Sesuai dengan sifat keunikan manusia maka konselor
harus meberikan layanan seirama dengan perubahan-perubahan yang ada pada diri
klien.
vii.
Asas Keterpaduan
Kepribadian klien merupajkan satu
kesatuan dari berbagai macam aspek. Dalam pemberian layanan kepada klien,
hendaknya selalu diperhatikan aspek-aspek kepribadian klien yang diarahkan
untuk mencapai keharmonisan atau keterpaduan. Bila tidak terwujud keterpaduan
aspek-aspek ini justru akan menimbulkan maslah baru.
viii.
Asas Kenormatifan
Maksud dari asas ini adalah usaha
layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan itu hendaknya tidak bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku, sehingga tidak terjadi penolakan dari individu
yang dibimbing.
H
Program
Bimbingan di Sekolah
Program
bimbingan untuk masing-masing jenjang pendidikan dapat dirumuskan dengan tepat
sesuai karekteristiknya. Selain itu, program bimbingan hendaknya disesuaikan
dengan keadaan individu yang akan dilayani.
A. Pendidikan
Taman Kanak-kanak
Taman kanak-kanak sebenarnya belum
termasuk jenjang pendidikan formal dan lebih dikenal dengan pendidikan
prasekolah. Pendidikan formal terendah adalah sekolah dasar (SD).
Layanan bimbingan dan konseling di taman
kanak-kanak, hendaknya ditekankan pada :
-
Bimbingan pribadi, seperti pemupukan
disiplin diri dan memahami perintah.
-
Bimbingan yang berkaitan dengan
kemandirian dan keharmonisan dalam menjalin hubungan sosial dengan teman-teman
sebayanya.
B. Program
Bimbingan di Sekolah Dasar
Program kegiatan bimbingan dan konseling
untuk siswa-siswa sekolah dasar lebih menekankan pada usaha pencapaian
tugas-tugas perkembangan mereka anatara lain mengataur kegiatan-kegiatan
belajarnya dengan bertanggung jawab; dapat berbuat dengan cara-cara yang dapat
diterima oleh orang dewasa serta teman-teman sebayanya, mengembangkan kesadaran
moral berdasarkan nilai-nilai kehidupan dengan membentuk kata hati (Winkel ,
1991)
Berkenaan dengan penyusunan program
bimbingan di sekolah dasar, Gibson dan Mitchell (1981) mengemukakan beberpa
faktor yang harus dipertimbangkan, seperti :
-
Kegiatan bimbingan di SD hendaknyha
lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas belajar.
-
Di SD masih menggunakan sistem guru
kelas sehingga seandainya ada anak yang tidak disenangi oleh guru, maka akan
lebih fatal akibatnya.
-
Adanya kecenderungan seorang anak
bergantung kepada teman sebayanya.
-
Minat orang tua dominan mempengaruhi
nilai kehidupan anak.
C. Program
Bimbingan di Sekolah Lnjutan Tingkat Pertama
Program bimbingan dan konseling untuk
siswa SLTP hendaknya berorientasi kepada pencapaian tugas-tugas
perkembangannya. Dalam hal ini, Winkel (1991) mengemukakan tugas-tugas
perkembangan untuk siswa/anak pada tingkat SLTP antara lain : menerima
peranannya sebagai pria atau wanita, memperjuangkan taraf kebebasan yang wajar
dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, menambah bekal pengetahuan dan
pemahaman untuk pendidikan lanjutan, serta mengembangkan kata hati sesuai
dengan nilai-nilai kehidupan.
Secara garis besar program bimbingan dan
konseling di SLTP hendaknya berorientasi kepada :
-
Bimbingan belajar, karena cara belajar
di SLTP berbeda dengan di SD.
-
Bimbingan tentang hubungan muda-mudi,
karena pada usia ini mereka mulai mengenal hubungan cinta kasih (Gibson dan
Mitchell, 1981).
-
Bimbingan yang berorientasi pada
tugas-tugas perkembangan anak usia 12-15 tahun.
D. Program
Bimbingan di Sekolah Lnjutan Tingkat atas
Program layanan bimbingan di SLTA
hendaknya lebih lengkap dan luas cakupannya dibandingkan dengan program layanan
di jenjang pendidikan di bawahnya. Pada jenjang pendidikan di SLTA para siswa
berada dalam masa remaja. Usia mereka berada pada masa transisi.
Dengan demikian, program bimbingan dan
konseling di SLTA hendaknya dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang
dihadapi siswa, sehingga mereka dapat mencapai tugas-tugas perkembangan
terebut. Oleh karena itu, program bimbingan di SLTA hendaknya berorientasi
kepada :
-
Hubungan muda-mudi /hubungan sosial.
-
Bimbingan cara belajar.
-
Pemberian informasi pendidikan dan
jabatan.
E. Program
Bimbingan di Perguruan Tinggi
Tugas-tugas perkembangan pada usia
dewasa menuntut seseorang untuk lebih mandiri, dan berdisiplin diri(self
discipline). Mereka dituntut untuk mampu mengembangkan sikap ilmu demi kemajuan
bangsanya (Winkel, 1991). Mereka hendaknya mampu mengembangkan kepribadiannya
sesuai dengan potensi-potensi yang dimilki dan mampu merencanakan masa depan
sesuai dengan keadaan dirinya.
I
Adminstrasi
Pendidikan dalam Profesi Keguruan
Dengan menggunakan analogi itu,
pengertian administrasi pendidikan akan diterangkan dengan meninjau dari
berbagai aspeknya. Mari kita lihat administrasi pendidikan dari berbagai
aspeknya itu, agar kita dapat memahaminya dengan lebih baik.
Pertama,administrasi
pendidikan mempunyai pengertian kerja sama untuk mencapai tujuan pendidikan.
Seperti yang kita ketahui, bahwa tujuan pendidikan itu merentang dari tujuan
yang sederhana sampai dengan tujuan yang kompleks, tergantung lingkup dan
tingkat pengertian pendidikan yang dimaksud. Tujuan pendidikan dalam satu jam
pelajaran di kelas satu sekolah menengah pertama, misalnya lebih mudah
dirumuskan dan dicapai dibandingkan dengan tujuan pendidikan luar sekolah untuk
orang dewasa atau tujuan pendidikan nasional. Jika tujuan itu kompleks, maka
cara mencapai tujauan itu juga kompleks, dan seringkali tujuan yang demikian
itu tidak dapat dicapai oleh satu orang saja, tetapi harus melalui kerja sama
dengan orang lain, dengan segala aspek kerumitannya.
Kedua,admistrasi
pendidikan mengandung pengertian proses untuk mencapai tujuan pendidikan. Proses
itu dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemantauan, dan
penilaian. Perencanaan meliputi kegiatan menetapkan apa yang ingin dicapai,
bagaimana mencapainya, berapa lama, berapa orang yang diperlukan , dan berapa
banyak biayanya. Perencanaan ini dibuat sebelum suatu tindakan dilaksanakan.
Ketiga,administrasi
pendidikan dapat dilihat dengan kerangka berpikir sistem. Sistem adalah
keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian dan bagian-bagian itu berinteraksi
dalam suatu proses untuk mengubah masukan menjadi keluaran.
Keempat,administrasi
pendidikan juga dapat dilihat dari segi manajemen. Jika administrasi dilihat
dari sudut ini, perhatian tertuju kepada usaha untuk melihat apakah pemanfaatan
sumber-sumber yang ada dalam mencapai tujuan pendidikan sudah mencapai sasaran
yang ditetapkan dan apakah dalam pencapain tujuan itu tidak terjadi pemborosan.
Kelima,
administrasi
pendidikan juga dapat dilihat dari segi kepemimpinan. Administrasi pendidikan
dilihat dari kepemimpinan merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana
kemampuan administrator pendidikan itu apakah ia dapat melaksanakan tut wuri
handayani, ing madyo mangun karso, dan ing ngarso sung tulodo.
Keenam,
administrasi
pendidikan juga dapat dilihat dari proses pengambilan kepuyusan. Kita tahu
bahwa melakukan kerja sama dan memimpin kegiatan sekelompok orang bukanlah
pekerjaan yang mudah. Setiap kali, administrator dihadapkan kepada
bermacam-macam masalah dan ia harus memecahkan masalah itu. Untuk memecahkan
masalah tersebut diperlukan kemampuan, dalam mengambil keputusan yaitu memilih kemungkinan
tindakan yang terbaik dari sejumlah kemungkinan-kemungkinan tindakan yang dapat
dilakukan.
Ketujuh,administrasi
pendidikan juga dapat dilihat dari segi komunikasi. Komunikasi dapat diartikan
secara sederhana sebagai usaha untuk membuat orang lain mengerti apa yang kita
maksudkan, dan kita juga mengerti apa yang dimaksudkan orang lain itu. Jika
dalam kerja sama pendidikan tidak ada komuikasi, maka orang yang bekerja sama
itu saling tidak mengetahui apa yang dikerjakan atau apa yang dimaui teman
sekerjanya.
Kedelapan,
administrasiseringkali
diartikan dalam pengertian yang sempt yaitu kegiatan ketatausahaan yang intinya
adalah kegiatan rutin catat-mencatat, mendokumentasikan kegiatan, menyelenggarakan
surat menyurat dengan segala aspeknya, serta mempersiapkan laporan. Perngertian
yang demikian tidak terlalu salah, karena setiap aspek kegiatan administarasi
dengan pengertian di atas, selalu memerlukan kegiatan pencatatan.
J
Proses
Sebagai Fungsi Administrasi Pendidikan Menengah
Agar kegiatan dalm komponen administrasi
pendidikan menengah dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan, kegiatan
tersebut harus dikelola melalui suatu tahapan proses yang merupakan daur
(siklus), mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian, pembiayaan, pemantauan, dan penilaian seperti yang telah
disinggung secara garis besar pada bagian terdahulu. Di bawah ini akan
diuraikan proses tersebut secara lebih rinci.
-
Perencanaan
Perencanaan adalah pemilihan dari
sejumlah alternatif tentang penetapan prosedur pencapaian, serta perkiraan
sumber yang dapat disediakan untuk mencapai tujuan tersebut. Yang dimaksud
dengan sumber meliputi sumber manusia, material, uang dan waktu. Dalam
perencanaa, kita mengernal beberapa tahap yaitu tahap : identifikasi masalah,
perumusan masalah, penetapan tujuan, identifikasi alternatif, pemilihan
alternatif, dan elaborasi alternatif.
Perencanaan pendidikan di pendidikan
menengah dapat dibedakan atas beberapa kategori menurut : jangkauan waktunya,
timbulnya, besarnya, pendekatan, serta pelakunya.
-
Pengorganisasian
Pengorganisasian di sekolah dapat di
definisikan sebagai keseluruhan proses untuk memilih dan memilah orang-orang
(guru dan personel sekolah lainnya) serta mengalokasikan prasarana dan sarana
untuk menunjung tugas orang-orang itu dalam rangka mencapai tujuan sekolah.
Termasuk didalam kegiatan pengorganisasian adalah penetapan tugas,
tanggung jawab, dan wewenang orang-orang
tersebut serta mekanisme kerjanya sehingga dapat menjadi tercapainya tujuan
sekolah itu.
Ada beberapa hal pokok yang dapat
dipedomani dan diperhatikan dalam hubungannya dengan pengorganisasian ini.
Seringkali orang menamakan hal pokok tersebut sebagai prinsip. Siagian (1985),
mengemukakan prinsip pengorganisasian itu adalah : organisasi itu mempunyai
tujuan yang jelas, tujuan organisasi harus dipahami oleh setiap anggota
organisasi, tujuan organisasi harus dapat diterima oleh setiap orang dalam
organisasi, adanya kesatuan arah dari berbagai bagian organisasi, adanya
kesatuan perintah, adanya keseimbangan antara wewenag dan tanggung jawab
seseorang daklam melaksanakan tugasnya, adanya pembagaian tugas yang jelas,
struktur organisasi permanen.
-
Pengarahan
Pengarahan dapat diartikan sebagai suatu
usaha untuk menjaga agar apa yang telah direncanakan dapat berjalan seperti
yang dikehendaki. Suharsimi Arikunto (1988) memberikan definisi pengarahan
sebagai penjelasan, petunjuk, serta pertimbangan dan bimbingan terhadap para
petugas yang terlibat, baik secara struktual maupun fungsional agar pelaksanaan
tugas dapat berjalan dengan lancar.
-
Pengkoordinasian
Pengkoordinasian di sekolah diartikan
sebagai usaha untuk menyatupadukan kegiatan dari berbagai individu atau unit
disekolah agar kegiatan mereka berjalan selaras dengan anggota atau unit
lainnya dalam usaha mencapai tujuan sekolah. Usaha pengkoordinasian dapat
dilakukan melalui berbagai cara seperti : melaksanakan penjelasn singkat,
mengadakan rapat kerja, memberikan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis,
dan memberikan balikan tentang hasil suatu kegiatan.
-
Pembiayaan
Pembiayaan sekolah
adalah kegiatan mendapatkan biaya serta mengelola anggaran pendapatan dan
belanja pendidikan menengah. Kegiatan ini dimulai dari perencanaan biaya, usaha
untuk mendapatkan dana yang mendukung rencana itu, penggunaan, serta pengawasan
penggunaan anggaran tersebut.
-
Penilaian
Dalam waktu-waktu tertentu, sekolah pada
umumnya atau anggota organisasi sekolah seperti guru, kepala sekolah, dan murid
pada khususnya harus melakukan penilaian tentang seberapa jauh tujuan yang
ditetapkan tercapai, serta mengertahui kekuatan dan kelemahan program yang
dilaksanakan. Secara lebih rinci maksud penilaian adalah untuk : memperoleh
dasar sebagai pertimbangan apakah pada akhir suatu periode kerja pekerjaan
tersebut berhasil, menjamin cara bekerja yang efektif dan efisien, memperoleh
fakta-fakta tentang kesukaran-kesukaran dan untuk menghindarkan situasi yang
dapat merusak, serta memajukan kesanggupan para guru dan orang tua murid dalam
mengembangkan organisasi sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Soetjipto.2009. Profesi
Keguruan. Bandung : Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar